V.
ATEISME JEAN-PAUL SARTRE
Oleh: Andrean Wilianoto
Secara
garis besar menurut paradigma Ateisme Jean-Paul Sartre (1905-1980) adalah
“Ateisme adalah usaha yang panjang dan kejam ; aku berpendapat bahwa aku
meneruskanya sampai pada batasnya” (dikutip dari Weger 145). Ajaran ini
menekankan pada demi Keutuhan manusia tidak mungkin ada Allah. Hanya kalau
tidak ada Allah , manusia dapat betul-betul menjadi dirinya sendiri. Dengan
adanya Allah maka dapat mencegah manusia untuk menjadi dirinya sendiri.
Eksitensialisme
bukan Ateisme, sekedar membuktikan bahwa tidak ada Allah, melainkan sebenarnya
Eksistensialisme mengatakan: bahkan seandainya ada suatu Allah, hal itu tidak
akan merubah apa-apa; itulah titik pandang dan yang menjadi pokok pikiran Jean
– Paul Sartre. Bukan seakan-akan percaya bahwa Allah itu ada, tetapi kami
berpendapat bahwa pernyataan itu bukanlah pernyataan tentang eksistensinya,
manusia harus menemukan dirinya sendiri sebagai penyelamat, juga tidak ada
suatu bukti sah tentang adanya Allah. Berikut adalah unsur-unsur utama yang
terkandung dalam ateisme Sartre dan beserta tanggapannya.
1. Ateisme
Sartre
Inti
dari keyakinan Sartre adalah, “Manusia bertanggung jawab atas dirinya
sendiri”(Sartre 1946,24). Bertanggung jawab atas dirinya sendiri berarti bahwa
ia sendiri yang membentuk dirinya sendiri. “Manusia bukan lain hanyalah apa
yang diciptakannya sendiri. Itulah prinsip pertama Eksistensialisme” ( Sartre
1946,22). Bahkan lebih lagi ialah “Manusia tidak hanya bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, melainkan bertanggung jawab atas sesama atau semua orang”
(Sartre 1946,24). Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan
persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal
eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut
membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa
esensi mendahului eksistensi. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada,
otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang
terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia
pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah
semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi
dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan
sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan
esensinya sendiri.
Sartre membagi pemikiranya kedalam 3
konsepsi tentang manusia, yaitu;
·
Kesadaran
Konsepsi
mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami
eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan.
Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan
kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan
substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda
melainkan kosong.
Sartre
mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan
artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan
kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut
artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran
selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya
kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan
menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang
membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.
Kesadaran
membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya)
dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi
benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda
membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada
yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang.
Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.
·
Waktu
Sartre
menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang
masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu,
saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling
berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua
tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi,
karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena
terbuka pada segala kemungkinan.
·
Kebebasan
“Manusia
terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.
Kebebasan
itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh
Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua,
manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan,
berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara
tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian
Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan
justru mengindikasikan tanggung jawab.
2. Tanggapan
Ateisme
Sartre berdasarkan keyakinan bahwa ada kalau ada Allah, manusia tidak lagi
bebas dan tidak lagi bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Dan karena manusia bebas tidak bisa lari dari
tanggungjawabnya atas dirinya sendiri dan atas umat manusia , tidak mungkin ada
Allah.
Apakah
benar dengan adanya Allah akan menghalangkan kebebasan dan tanggung jawab? Bagaimana
kalau adanya Allah justru memberdayakan manusia? Manusia tau bahaw dirinya
dicintai oleh Allah, maka apakah manusia mau berani sepenuhnya mempertaruhkan
diri?
Jika
agama menekankan ketaatan ,kalau manusia dilarang untuk berfikir sendiri,
kalaupun harus diterima begitu saja, Sartre benar. Dalam agama – agama Abrahamistik
sebagian para teolog secara eksplisit menyangkal kebebasan manusia karena ada
Allah.
Di
sini, ada juga pandangan dan penghayatan. Jika kita memposisikan bahwa Allah
adalah Dalang dan manusia adalah wayang, seakan kita berfikir jika kita
bisa bergerak jika karena adanya Allah, kita bisa menggerakan tangan karena
Allah yang menggerakan dan bukan karena kita sendiri. Kalau demikian hubungan
Allah dengan manusia seperti itu, maka Sartre benar.
Allah
juga bisa dilihat menurut paradigma kasih. Sebagaimana jika seseorang tau bahwa
dirinya dicintai tanpa reserve oleh seseorang, maka akan mendapat harga diri
yang lebih besar sehingga ia mau mempertaruhkan nyawanya dan tidak mundur dari
tanggungjawabnya. Seruan Pe-Mazmur mengatakan “Lemparkan bebanmu kepada Allah”,
seruan ini tidak berarti bahwa kita lari meninggalkan beban kita dan apa yang
menjadi tanggungjawab kita sebagai manusia. Dalam mazmur ini, mengartikan bahwa
Allah ada, turut campur tangan dalam memberikan suatu kelegaan dengan turut
menopang dan memikul apa yang menjadi beban kita. Dalam kesadaran bawah
seseorang merasa dicintai oleh Allah, maka ia berani menjalankan peranya dengan
mengambil tanggungjawab tersebut.
Hal
sama yang berlaku bagi argume Sartre bahwa kalau ada Allah, kita diciptakan,
dan itu berarti bahwa kodrat kita sudah ditentukan. Tetapi manusia bukanlah
murni kesadaran dan subjektifitas saja. Manusia selalu membawa dirinya sendiri
dengan kodratnya, dalam segala-galanya, dan hal ity tidak membuatnya kurang
manusia, melainkan justru merupakan kondisinya. Anggapan bahwa berada-pada-dirinya-sendiri dan berada–bagi-dirinya-sendiri harus
terpisah mutlak justru tidak masuk akal ( adalah Hegel yang menguraikan saling
keterkaitan itu dalam The Phenomenology
of mind). Jadi Teori Sartre adalah Aneh dan Sartre hanyalah korban ekstrem
dari paham tentang kebebasan yang tak nyata.
3. Catatan
mengenai Albert Camus ( Intermezo )
Hidup
itu Absurd, Albert Camus mempunyai uraian tentang absurd. Albert Camus
tergolong seorang filsuf eksistensialis. Konsep dasar pemikirannya yang sangat
terkenal adalah “ yang absurd “. Konsep ini diuraikan dalam esai Le Mythe de Sisyphe
(The Myth of Sisyphus, 1941). Absurditas merupakan titik pemikiran
eksistensialisme yang kemudian dikembangkan oleh Albert Camus menjadi aliran
Filsafat tersendiri. Maka muncullah aliran filsafat Absurdme yang tidak lain
adalah pengembangan dari titik pemikiran eksistensialisme. Seperti yang
dikatakan oleh Camus bahwa intuisi absurditas telah muncul sejak Kierkegaard
dan Nietzsche. Sartre pun pernah mengatakan bahwa hidup ini absurd. Karena
menurut Sartre kita terlempar begitu saja ke dunia ini tanpa ada yang menciptakan
dan tanpa tahu tujuan dari adanya hidup ini. Selain itu menurut dia bahwa
manusia selalu ingin menjadi Tuhan tapi hasratnya itu merupakan suatu hasrat
yang tidak mungkin tercapai, mustahil, dan absurd.
Camus
menekankan kematian sebagai sebuah kepastian. Sehingga, kesadaran manusia
membuatnya menjalani kehidupan sambil menunggu kematian. Ada beberapa orang
yang berpikir apabila kematian memang adalah akhir dari sebuah kesadaran,
kepastian di antara ketidakpastian, maka kematianlah yang harus dihampiri
dengan cara bunuh diri.
Menurut
Camus bunuh diri merupakan tindakan menyerah pada kehidupan. Camus dengan
petuahnya ‘Saya memberontak maka saya ada’ tidak setuju pada tindakan bunuh
diri. Tindakan itu adalah tanda bahwa manusia memilih untuk berhenti berjuang
atas absurdnya hidup. Ia menekankan bahwa harapan dalam kehidupan timbul saat
manusia memberontak terhadap takdirnya, bukan ketika manusia menyerah. Apabila
manusia tidak pasrah dengan kehidupan dan memilih untuk melawan takdir serta
memilih untuk tidak mengakhiri hidupnya, di titik itulah ia membuktikan
eksistensinya.
Ateisme
Camus dengan demikan kelihatan sebagai implikasi masalah adanya masalah penderitaan
dan kejahatan dalam dunia. Penderitaan itu tidak masuk akal, tidak dapat
diperdamaikan kedalam sebuah kerangka yang lebih luas. Maka tidak mungkin kita
diciptakan oleh Allah dan tak mungkin kita ditangan Allah. Ateisme ini tidak
mungkin ada jawaban murahan. Karena masalah yang melatarbelakanginya memang
masalah kunci keAllahan. Jawaban yang kena hanya satu yaitu menularkan kepada
Camus atau siapapun bahwa meskipun ada kejahatan dan penderitaan, Allah dialami sebagai Realita yang positif.
0 komentar:
Posting Komentar