KATA PENGANTAR
Atas kesempatan kali
ini, saya akan membawakan makala tentang industry garmen sebagai salah satu
kekuatan perekonomian di sector ekkonomi mikro. Usaha garmen ini saya ambil
karena menurut saya, banyak pusat-pusat industry berkembang di zaman sekarang,
di era mobiltas yang sangat pesat. Saya memilih industry garmen ini, karena
saya melihat perkembangan industry ini dalam bidang ekonomi sangatlah ketat.
Itu terbukti dari barang-barang import, baik itu busana, sepatu atau
lain-lainya, dari makalah ini, saya akan mengevaluasi pemerintah terhadap
perbankan dalam sector ekonomi mikro atau dalam ruang lingkup ekonomi kecil.
Mengapa sector ekonomi kecil perlu diperhatikan? Di Indonesia system perekonomian yang dianut
adalah capitalisa dan sosialis, yang harus menjadi tinjauan utama adalah
sosialis, jika system ekonomi sosialis tidak berjalan dengan baik, maka
sector-sektor ekonomi lainya akan terabaikan.selain itu, masyarakat Indonesia
yang majemuk, menimbulkan kecenderungan berbeda dalam proses ekonomi, jadi jika sector ekonomi kecil akan terabaikan,
maka kesenjangan social akan semakin parah terbentuk
Demikan kata
pengantar ini, untuk selengkapnya, akan saya lampirkan dalam mkalah ini,
kiranya makalah ini dapat sangat bermanfaat. Terimkasaih.
Bekasi, 25 oktober
2012
Andrean wilianoto.
penulis
PENDAHULUAN
Pemerintah berada pada posisi yang tepat untuk
mengambil prakarsa untuk meningkatkan akses terhadap layanan keuangan di
Indonesia pada berbagai bidang. Selain itu, sektor swasta harus melihat potensi
pasar sangat besar bagi layanan keuangan yang belum tersentuh oleh
pasar saat ini. Bersama-sama, dapat dijumpai kesempatan-kesempatan bagi solusi
dan kemitraan yang inovatif untuk memanfaatkan segmen pasar yang baru ini.
Dari sudut pandang sektor publik, pertama-tama
suatu strategi dan kebijakan keterlibatan sektor keuangan nasional harus
ditempatkan untuk memberikan pedoman umum dan berjangka panjang bagi penyusun
kebijakan dan pemain pasar. Kedua, pengumpulan data dan analisis secara berkala
mengenai akses terhadap keuangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran
dibutuhkan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan yang efektif. Ketiga,
memperkuat kerangka hukum dan aturan yang ada bagi berbagai lembaga keuangan
resmi akan menjadi suatu langkah yang penting dalam meningkatkan akses terhadap
keuangan. Bagi setiap pemberi layanan keuangan utama, terdapat aspek-aspek
kerangka peraturan yang dapat direformasi demi peningkatan akses terhadap
keuangan tanpa melanggar prinsip kehati-hatian. Di titik ini, Indonesia dapat
mencermati contoh-contoh yang berasal dari negara-negara berkembang lainnya
untuk mendapat ide-ide yang telah berhasil dilaksanakan di tempat lain.
Sebagai contoh, pemerintah dapat memperluas
kerangka peraturan bagi pemberi layanan untuk menggunakan perbankan lewat
ponsel (mobile banking). Saat ini peraturan Bank Indonesia
memperkenankan pemberi layanan non-bank untuk menerbitkan uang elektronik hanya
untuk kepentingan pembayaran. Rintangan utama adalah persyaratan ijin yang
dibutuhkan. Selain itu, peraturan mengenal nasabah (know-your-customer, KYC)
dapat disesuaikan untuk memperkenankan agen pihak ketiga untuk mendaftarkan
nasabah baru atau memperkenankan aplikasi jarak jauh untuk rekening bank
baru dalam suatu batasan tertentu yang relatif rendah. Saat ini,
nasabah harus datang ke kantor lembaga keuangan, yang dapat menjadi hambatan
bagi mereka yang hidup di daerah yang lebih terpencil di pedesaan.
Indonesia memiliki sejumlah besar koperasi simpan
pinjam yang memberikan layanan keuangan kepada rumah tangga berpenghasilan
rendah. Dibutuhkan pengawasan koperasi yang memadai untuk memastikan sektor
koperasi yang sehat dan memangkas risiko yang dapat dihadapi oleh penabung UMKM
dan rumah tangga miskin yang disebabkan oleh kepailitan suatu koperasi. Selain
itu, penyesuaian lain terhadap kebijakan dapat memperkenankan suku bunga
berbasis pasar yang lebih lentur, kemudahan untuk membuka kantor cabang baru,
dan memberikan kriteria yang lebih longgar bagi pelaporan dan pengungkapan.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan revitalisasi
rancangan UU keuangan mikro yang akan memperkenankan lembaga keuangan lain
(lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi) untuk mendapatkan status
hukum yang kuat untuk memberikan akses terhadap layanan keuangan, dan membantu
daya jangkau mereka di luar daerah operasi tradisional mereka di pulau Jawa dan
Bali. Sangatlah penting bahwa UU itu mendorong akses terhadap keuangan
berdasarkan praktik terbaik dari pengalaman internasional dan memberikan
kerangka peraturan yang kuat dan pengawasan yang optimal mengenai peran yang
harus dimainkan oleh pemerintah. Sementara itu, ketetapan bersama yang
ditandatangani pada bulan Desember 2009 memberikan kerangka hukum sementara
bagi lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi untuk memastikan
keberlanjutan akses terhadap keuangan hingga UU Keuangan Mikro resmi
ditetapkan.
Pemerintah perlu mendorong pengembangan ekonomi
mikro di Indonesia karena jika ekonomi mikro bergerak dengan cepat maka
aktivitas perekonomian makro akan mengikuti. “Usaha pemerintah mendorong
ekonomi mikro akan sia-sia jika tidak diikuti kemampuan para pengusaha
menjalankan usahanya,” kata anggota Kadin Provinsi Jateng, Seno Hardiono, di
Semarang, Minggu. Menurut Seno, gerak ekonomi mikro tersebut sangat dipengaruhi
cara para pengusaha menjalankan bisnisnya, perkembangan bisnis pengusaha, dan
seberapa dinamis usaha yang dilakukan pebisnis. Karena itu, katanya, kepiawaian
para pengusaha menjalankan usahanya sangat memengaruhi perkembangan ekonomi
mikro di Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian semua pebisnis yang
menjalankan usaha.
Di Filipina, pengiriman dana antar individu (person-to-person
transfer) diperkenankan lewat perbankan melalui ponsel, sehingga pekerja
migran Filipina di luar negeri dapat mengirim uang bernilai jutaan dolar
Amerika ke kampung halamannya setiap bulan. Indonesia juga dapat melakukan hal
yang sama, jika diperkenankan oleh kerangka peraturan yang berlaku. Dengan
demikian, terdapat alasan yang kuat bagi program percontohan yang
memperkenankan pengiriman uang seperti demikian, yang dapat dilaksanakan dalam
bentuk kemitraan pemerintah-swasta.
Dengan kepemimpinan dari sektor publik untuk
memberikan insentif bagi sektor swasta untuk meningkatkan keterlibatan, segmen
berukuran besar dari penduduk Indonesia yang belum tersentuh bank dapat secara
cepat mencapai sasaran pemerintah dalam keterlibatan sektor
keuangan.
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
Cabang Semarang, Amril Arief mengakui, jika aktivitas ekonomi di tingkat mikro
bergerak cepat maka roda perekonomian makro di Indonesia bakal mengikuti.Untuk
itu, katanya, ISEI melihat pentingnya pertumbuhan tunas-tunas baru dalam dunia
usaha atau sektor riil. Berkembangnya para “entrepreneur” muda itu akan mengisi
sektor riil menjadi agar menjadi lebih dinamis. Semakin banyak pengusaha yang
sukses, katanya, tentu akan mampu menggerakkan sektor riil lebih cepat karena
posisi pengusaha dalam perekonomian mempunyai peran penting sebagai motor
penggerak.
Sejak berdiri 52 tahun lalu, kata Amril, ISEI
memosisikan diri sebagai organisasi profesi yang tidak terpisahkan dari
masyarakat Indonesia sehingga berkewajiban untuk mengambil peran positif demi
kemajuan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Menurut dia, kemajuan
kesejahteraan menjadi “ultimate target” dari kebijakan pembangunan yang
dilakukan pemerintah. Kebijakan pembangunan yang berhasil dipastikan
menghasilkan kesejahteraan. “Dilihat secara mikro, kesejahteraan juga menjadi
tujuan dari setiap orang yang berkarya, sedangkan orang yang bekerja dengan
sukses pasti akan mencapai kesejahteraan. Untuk itu, ekonomi mikro harus
menjadi perhatian bersama,” katanya.
“Dengan kondisi makro ekonomi yang semakin baik
maka semakin menjadi kebutuhan mendesak agar di tingkat mikro, perekonomian
dapat berjalan lebih baik lagi karena pada tingkat inilah perbaikan ekonomi
akan dirasakan oleh rakyat,” kata Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita di Jakarta,
Kamis. Dalam sidang Paripurna Khusus DPD dengan agenda keterangan pemerintah
tentang kebijakan pembangunan daerah, Ketua DPD menyebutkan pihaknya tidak henti-hentinya
mengingatkan pemerintah agar mencari terobosan dalam menangani sektor riil agar
bisa menggerakkan perekonomian rakyat secara lebih cepat dan berkesinambungan.
Menurut dia, fluktuasi perkembangan ekonomi global
dewasa ini berdampak kurang menguntungkan bagi perekonomian nasional, seperti
adanya kenaikan harga minyak internasional, dan gejolak keuangan internasional
yang dipicu oleh krisis keuangan di negara-negara maju. “Kami menyadari bahwa
menjaga kestabilan moneter dan sehatnya anggaran negara bukanlah pekerjaan
ringan dan perlu kepiawaian dalam mengelola ekonomi negara,” katanya. Ia
menilai pemerintah telah bekerja sama dengan baik dengan Bank Indonesia (BI)
dalam memelihara makro ekonomi Indonesia, sehingga dapat mengatasi
gejolak-gejolak ekonomi global. “Ini bukan upaya yang ringan sehingga karenanya
layak kita hargai,” katanya.DPD juga menyatakan dukungannya atas kebijakan
anggaran pemerintah yang memprioritaskan untuk menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran serta mengurangi kesenjangan, di samping menjaga stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.
RUMUSAN MASALAH
Hambatan Hambatan
Perempuan penopang Usaha Kecil
Usaha ini diharapkan mampu menopang perekonomian
nasional melalui usaha kecil. Keberhasilan usaha mikro, yang biasanya disebut
dengan okum informal, yang tetap eksis bahkan berkembang di masa krisis semakin
memancarkan daya tarik tersendiri yang memikat berbagai pihak baik itu
pemerintah, perbankan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
lembaga atau institusi lainnya. Kendatipun usaha mikro atau kecil saat ini
semakin mengeliat dan mampu bertahan diri ditengah badai krisis, namun berbagai
hambatan dan persoalan juga dialami oleh para pelaku usaha, terutama perempuan.
Sebagai pelaku usaha mikro dan kecil, perempuan menghadapi persoalan yang
bisa digolongkan dalam 2 hal, yaitu terkait dengan teknis usaha – aspek
ekonomi- dan structural –aspek politik-. Dalam persoalan tehnis usaha perempuan
menghadapi hambatan yang sama dengan pelaku usaha mikro pada umumnya.
Kekurangan modal, terbatasnya jaringan pasar, keterbatasan penguasaan tehnologi
yang tepat guna, serta terbatasnya penguasaan keterampilan manajemen dan
penguasaan tehnis produksi adalah contoh problem terkait dengan tehnis usaha.
Sementara persolan structural yang bersifat politis dihadapi perempuan dari dua
sisi yang sama beratnya, pertama adanya beragam peraturan yang tidak
kondusif bagi perempuan untuk pengembangan usaha karena kurang okumic gender,
seperti perbankan dan institusi lain dalam memberikan layanan kredit dan
program yang menekankan pada kepala keluarga sebagai penerima manfaat.
Persoalan srutural lain terkait dengan ketimpangan relasi antara
perempuan dengan suami dan keluarga.
Perempuan sebagai pelaku usaha tetap dihadapkan
pada peran dan tanggung jawab utamanya di ranah okumi, padahal pengembangan
usaha mau tidak mau berurusan dengan ranah okum. Banyak fakta menunjukkan
output usaha mikro –terutama yang dilakukan perempuan- tidak memberikan hasil
dalam bentuk pemupukan modal. Keuntungan usaha habis untuk kebutuhan konsumsi
keluarga, biaya kesehatan dan pendidikan anak. Bagian terbesar –bahkan
seleuruhnya- hasil usaha habis untuk konsumsi sehari-hari. Meski sebagain
pelaku usaha sudah mengikuti berbagai program peningkatan pendapatan dan pengembangan
usaha kecil yang difasilitasi pemerintah dan LSM, namun banyak usaha mikro yang
dijalankan tidak mengalami perubahan karena mereka mengakses dana program untuk
kebutuhan konsumsi keluarga.
Dalam ranah yang lain, tidak masuknya perempuan ke
dalam angka okumic juga berakibat pada tidak tampaknya potensi perempuan dalam
bidang ekonomi. Hal ini sebetulnya telah diungkapkan oleh hasil
penelitian Ester Boserup tahun 1970-an. Definisi tentang kerja yang bias
jender, menjadi penyebab potensi perempuan dalam perekenomian tidak terlihat
dalam data okumic. Implikasi yang lebih jauh, pemahaman tentang hambatan yang
menghadang perempuan, kelebihan dan kelemahannya tidak dipahami, dan
menyebabkan perempuan pengusaha menjadi sumber daya yang tidak tampak, tidak
disadari, dan tidak dimanfaatkan.
Sementara dalam reaitasnya dilihat dari hasil okum
ADB dan Kantor Menneg Koperasi dan UKM juga menunjukkan, perempuan pengusaha
memiliki kekuatan dan potensi yang spesifik, yaitu nyata-nyata lebih
berhati-hati dan realistis dibandingkan dengan mitra laki-lakinya. Perempuan
sangat mumpuni dalam administrasi dan keuangan, dapat diandalkan dalam
pertanggungjawaban pinjaman ke bank, tidak begitu mengalami masalah dalam
menghadapi perizinan usaha dan petugas pajak, mudah beradaptasi, dan mampu
berkomunikasi dengan baik.
Kenyataan bias jender yang terjadi pada perempuan
tersebut justru sebenarnya diperkuat pula oleh okum melalui peraturan
perundangan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menetapkan bahwa laki- laki adalah kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu
rumah tangga. Dibolehkannya digunakan hukum adat dalam pembagian hak waris
seperti diatur dalam undang-undang yang sama sering merugikan perempuan, antara
lain perempuan tidak memiliki kolateral ketika mencari pinjaman.
STUDI KASUS MASALAH
Berikut ini, hasil
wawancara saya dengan seorang pelaku ekonomi mikro di bidang garmen, yang
terletak di wilayah bekasi uatara. Sebelum wawancara saya lampirkan, ibu
pengusaha garmen tersebut berkenan untuk menceritakan sejarah dan latar
belakang usaha garmen tersebut , semoga testimoni yang ibu tersebut saya
sampaikan dalam makala ini tidak hanya sebagai prioritas tugas Ujian saja, tapi
makna dari testimoni ibu ini sampaikan bisa juga menjadi bahan pelajaran buat
kita para pembaca. Langsung saja mari kita simak.
Hari senin tanggal 22
oktober 2012, saya berniat untuk menggali potensi ilmu bisnis dan system perekonomian dari pengusaha
garmen yang lumayan besar di bilangan bekasi utara. Saat saya berkunjung untuk
mencari data yang konkret dan jelas sebagai kerangka makala ujian saya ini,saya
di sambut oleh salah satu pegawai di industry garmen tersebut.
Saya ; selamat siang
bu, maaf mengganggu, bisa saya minta waktunya sebentar? Begini, maksud saya
dating ketempat ini ,ingin bertemu dengan pemilik garmen ini? Ada sesuatu yang
saya ingin tanyakan secara langsung bagaimana industry ini bisa tetap berjalan.
Karyawan ; ohh begitu
mas, baik mari ,silakan masuk, tunggu sebentar ya, kalo di lihat- lihat mas
ini mahsiswa Kalbis ya?
Saya; ( dengan mimik
muka yang tersanjung ) wah, iya bu, koq
tau bu? Berarti kalbis sudah mulai terkenal dong yah?
Karyawan : saya ,masih
28 koq mas, ga setua ibu-ibu. Emang saya ibu-ibu PKK? Ya tau,lah wong itu ada
ID card dan tulisan di jas almamater mas koq.
Saya ; ( dengan lesu )
owh gtu, saya kira mba tau kalbis, soalanya pas Ospek ada dhera idol sama juara
panco lho mba, keren kan. Hehehe. (lalu apa hubungannya dari makala ini?)
Karyawan ; trus saya
haru ngejahit sambil bilang W.O.W gitu? Hahaha, si mas bisa aja, saya masih ada
kan jiwa mudanya, lha kita kna Cuma beda 10 tahun / 8 tahun mas. Sebentar saya
panggilkan ibu dulu ya mas.
Saya ; (dalam hati
saya, trus gw harus wawancara sambil triak WOW gtu?) ohh, iya mba. Lebih cepat ,lebih baik mba.
Ahaha. Bercanda koq ,mba.
Singkat cerita dari
perbincangan kami di atas,yang sebenarnya hanya pepesan kosong dan tidak ada
informasi yang saya dapat, mugkin Cuma umur si mba karyawati itu yang saya
dapat. Haha. Tapi perbincangan diaatas hanya pembuka diskusi saja agar tidak
bosan. Karena perbincangan saya dengan pemilik garmen tersebut, akan terkesan
membosankan dan menegangkan..
20 menit saya menunggu,
ibu pemilik garmen tersebut telah muncul ketika saya baru menunggu 10 menit,
lalu langsung saja saya utarakan maksud saya mengganggu beliau dan maksud
kedatangan saya ke pabriknya tersebut.
Saya; selamat siang bu,
boleh minta waktunya se,,,,,,,,,,,, (belum selesai saya menjawab, ibu itu sudah
memotong perkataan saya.
Ibu pemilik garmen ;iya
mas, silakan duduk, saya sudah tau maksud kedatangan anda. Kesini dan mengapa
anda kesini.
Saya; (wow, gile,
ciiiee banget ni ibu, kaya dukun, bisa tau maksud saya)
Ibu pemilik garmen :
ehh, sebentar mas, saya tau apa yang mas pikirkan, saya bukan dukun, saya sudah
mendengar semua tadi dari pegawai saya…
Saya ; owh begitu, saya
pikir. Iya, bu,, jadi saya ini kemari ingin mengetahui proses perindustrian
yang ibu jalan kan sekarang ini..
Ibu pemilik garmen : ok
lah kalo begitu mas-mas wartawan dari kalbis, hehehe. Santai saja dengan saya
koq, jangan tegang wawancara saya, sebenarnya, saya juga baru pertama ini di
wawancara mas. Haha. Saya mulai dari perkenalan dan sejarah garmen ini ya. Jadi
nama saya ibu hartati. Umur saya yaaa,, bisa dibilang masih muda koq, kepala 5,
masih di bawah 5 tahun kan. Hahaha, tapi ekornya itu yang besar di umur saya.
Hahaha. Udah, si mas malah ketawa-tawa aja, saya kan jadi malu mas. Hehehe.
Jadi, awal usaha ini, milik Alm. Suami saya,, usa,,,,,,
Saya ; (langsung saya
potong ) jadi suami ibu sudah meninggal?
Ibu hartati ; iya mas,
3 tahun lalau, awalnya saya dan suami itu,,,,
Saya ; (saya potong
lagi ) menikah dengan suami ibu?
Ibu hartati ; masn yang
diwawancara sapa si? Narasumbernya sapa si? Mending sini kertasnya, saya yang
wawancara mas, dari pade kite berantem di sini… hahahaha. Saya itu galak lho
mas, belum tau si kalo saya marah. Saya marah, fakir miskin pada dateng kesini.
Petugas PLN, Telkom pade kesini…
Saya ; woooohhh,
ngapain tuh bu?
Ibu hartati ; minta
sedekah sama ngechek tagihan listrik ma telvon lah, masa brantem sama saya.
Hahaha. Udah serius mas, nanti ga selesai kerjaan si mas.
Saya ; ohh iya bu,
silakan.
Ibu hartati ; jadi,
usaha saya ini berwal dari toko kelontong jahit kecil mas, di pasar deket
proyek bekasih. Dulu saya dan suami saya, setelah krisis waktu tahun 1998,
bank-bank di sini lagi krisis-krisisnya. Saya bingung mau buka usaha apa, buat
makan kita dan anak-anak. Dulu anak saya masih kecil, ga kepikiran dah tuh buat
sekolahin anak, lah umur nya masih 3 tahun . hehehe. Yang ada dikantong saya
sama suami saya Cuma uang 500 ribu mas. Bayangin aja, saya sempet berfikiran
untuk pulang kampong ke parung. Hahaha. masih disini-sini juga si. Akirnya, satu-satunya
harta saya waktu itu Cuma vespa piagio dan surat rumah, suami saya memang gila,
bertaruh dengan nasib dan peluang, akirnya harta saya saya cairkan dan surat
rumah saya gadaikan sebagai bukti peminjamaan uang di salah satu saudagar teman
Alm.suami saya. Hasil uangnya, saya sewa took kecil di sekitar proyek bekasi.
Saya sampai mau nangis kalau inget tahun dulu. Orderan sepi, karena dulu
masa-masanya krisis dan bangkit lagi. Saya dan suami saya hampir putus asa dan hampir
berkemas-kemas barang untuk pulang ke kampung suami saya. Tapi saya percaya
mas, kalau harapan masih ada dan roda perekonomian tetap berputar. Saya nekat
utang sana, utang sini Cuma buat nutupin utang dan buat makan. Tapi puji syukur
mas, ada suatu order besar dari took busana, karena pada waktu 1990 keatas,
Indonesia mulai bangkit dan pertokoan juga sudah mulai memberanikan diri untuk
menjalankan usahanya, ini order besar pertama saya, sebuah took busana milik
orang china, minta saya ngejahit 12 lusin baju. Berbagai model memang. Tapi
masalahnya, saya Cuma punya 3 mesin jahit, dan 3 orang yaitu saya, suami dan
adik ipar saya yang menjadi tenaga
kerja. Alm.suami sayapun menyanggupi permintaan tersebut, akhirnya kami mulai
utang sana sini lagi dan mencari tenaga kerja tambahan, kira-kira 10 mesin
jahit yang beroprasi pada waktu itu, alhamdulilah, pekerjaan itu bisa kami
selesaikan. Kebelakangnya, kami mendapat order besar juga, dan keuntungan kami
bisa menutupi hutang dan pada tahun 2006, kami bisa membeli sebuah lokasi ini
untuk mengembangkan tempat usaha ini. Dan dapat berkembang sampai seperti ini.
Saat tahun 2009 , suami saya sakit parah dan harus pergi mendahului saya,
akirnya saya menjalankan usaha ini sendiri bersama 300 karyawan saya. Adik ipar
saya lebih memilih berbisnis membuka took busana, ya seperti timbal balik lah,
kadang saya dan adik ipar saya saling bekerja sama. Jadi begitu mas ceritanya.
Saya ; begitu ya, pada
saat itu, apa peranan perbankan dan pemerintah terhadap usaha menengah seperti
ibu ini ?
Ibu hartati ; kalo menurut
saya, bank pada saat itu hanya berperan sebagai kreditor, karenan saya
merasakan peran bank sangat kental sekali dalam usaha saya ini. Sedangkan
pemerintah, saat itu hanya berperan untuk menciptaan kestabilan ekonomi
Indonesia setelah krisis.
Saya ;kalau saat ini
apa peran bank dan pemerintah terhadap usaha menengah seperti ibu?
Ibu hartati : bank
sangat sentral yah, bagi saya, bank itu salah satu bentuk invetasi saya nanti,
kalau pemerintah, ya mngkin ada lah, berbagai kebijkan yang melindungi usaha menengah
dari serbuan barang-barang impor yang harganya sangat bersaing.
Saya : jadi kesimpulan
dan pesan yang akan ibu sampaikan untuk kami dan para pembaca apa?
Ibu hartati ; saya
berawal dari keluarga yang ekonominya kurang, tapi ayah saya selalu meninggikan
nilai-nilai social, memang salah jika kita menjadi penghutang, karena itu jang
sampai kita menjadi hobi hutang. Dan satu lagi yaitu percaya, selama
perekonomian masih selalu beerputar, pasti akan sengat banyak peluang yang akan kita peroleh nantinya. Kalian dan kamu
mas, calon penggerak keuangan dan roda perekonomian Indonesia mendatang,
pastikan kalian-kalian harus bisa dan benar-benar mengerti untuk menggerakan
roda perekonomian nanti, dan jangan pernah nebcoba jadi koruptor.
Saya : ok bu. Pasti saya
ingat dan akan saya sampaikan melalui tulisan saya ini nanti semua pesan-pesan
ibu. Terima kasih ya bu atas waktunya, menyenangkan sekali bisa mewawancarai
ibu, saya banyak mendapat pengalaman baru dan berharga, sekali lagi terima
kasih ya bu..
Ibu hartati ; oiyah
mas, sama-sama. Saya juga bangga masih ada yang peduli dengan usaha-usaha
kecil. Harapan saya , bisa semakin maju juga usaha-usaha kecil. Salam ya mas
untuk teman-teman di kalbis. Terima kasih.
Demikian wawancara saya
dengan ibu hartati, memang saat-saat seperti ini banyak usaha kelas menengah
yang kurang diperhatikan oleh pemerintah, khususnya UKM swasta. Harapan kami
juga pemerintah bisa semakin peduli, karena UKM
pun memiliki potensi dan andil besar dalam pembangunan Negara.
ANALISIS
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan revitalisasi
rancangan UU keuangan mikro yang akan memperkenankan lembaga keuangan lain
(lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi) untuk mendapatkan status
hukum yang kuat untuk memberikan akses terhadap layanan keuangan, dan membantu
daya jangkau mereka di luar daerah operasi tradisional mereka di pulau Jawa dan
Bali. Sangatlah penting bahwa UU itu mendorong akses terhadap keuangan
berdasarkan praktik terbaik dari pengalaman internasional dan memberikan
kerangka peraturan yang kuat dan pengawasan yang optimal mengenai peran yang
harus dimainkan oleh pemerintah. Sementara itu, ketetapan bersama yang
ditandatangani pada bulan Desember 2009 memberikan kerangka hukum sementara
bagi lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi untuk memastikan
keberlanjutan akses terhadap keuangan hingga UU Keuangan Mikro resmi
ditetapkan.
Sektor swasta dan pemerintah harus bekerja sama
dalam memaksimalkan penggunaan teknologi baru untuk menawarkan solusi-solusi
inovatif untuk meningkatkan akses terhadap keuangan. Sebagai contoh, Indonesia
telah maju dengan cepat dalam pengembangan layanan perbankan lewat ponsel.
Tetapi Indonesia dapat melangkah lebih maju dengan memanfaatkan potensi pemberi
layanan telekomunikasi untuk menjangkau kaum miskin yangbelumtersentuh bank di
daerah-daerah pedesaan . Akan tetapi, peraturan yang sekarang berlaku membatasi
para pemberi layanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin: tidak
ada fasilitas layanan penarikan uang maupun pengiriman uang antar individu.
Pada bagian ini, Bank Indonesia menjadi penentu dalam mereformasi peraturan
untuk memberdayakan pemberi layanan uang elektronik non-bank dan memperkenankan
bank-bank dan non-bank untuk memberikan layanan yang lebih luas melalui solusi
perbankan lewat ponsel yang berbiaya rendah.
Tulisan ini akan lebih memfokuskan mengenai betapa
pentingnya stabilitas sistem keuangan dan strategi pencapaiannya. Sebagai
otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia
tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan
(perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga
stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan
banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap
stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar
yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah
satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan
sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara
normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan
mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem
keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan
juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia
dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank
Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk
menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam
operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan
moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas
moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan
moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung
bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu,
untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu
kebijakan yang disebut inflation targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam
menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme
pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan
memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan
di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu
perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan
dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin
pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan
hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem
keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement)
dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus
mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di
sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur
Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar
(failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran,
maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran
sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat
menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik.
Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko
dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan
menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama
sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan
dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank
Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko
potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai
jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of
the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia
sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya
ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan
likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada
bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis
yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada
bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki
kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR,
Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu,
pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam
penyediaan likuiditas tersebut.
Peran bank sentral sebagai otoritas moneter
Peran bank sentral dalam perekonomian suatu negara sangat penting. Bank sentral adalah mitra utama pemerintah dalam menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi melalui kebijakan suku bunga dengan statusnya sebagai otoritas moneter. Sebagai otoritas moneter, bank sentral memiliki tujuan, tugas, maupun wewenang yang tidak dimiliki lembaga ekonomi lainnya.
Sebelum membahas mengenai beberapa hal terkait otoritas moneter yang dimiliki oleh Bank Indonesia, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan moneter dan otoritas moneter itu sendiri. Dalam ”kamus hukum ekonomi” yang disusun oleh A. F. Elly Erawaty dan J. S. Badudu dikatakan bahwa kebijakan moneter (monetary policy) adalah tindakan bank sentral selaku pemegang otoritas moneter dalam menjaga keseimbangan moneter negara.
Sedangkan otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan persediaan uang. Umumnya otoritas moneter adalah bank sentral, meskipun kadang kala lembaga eksekutif pemerintah mempunyai hak tertinggi untuk menetapkan kebijakan moneter dengan cara mengendalikan bank sentral. Ada berbagai jenis otoritas moneter lainnya, seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa negara, terdapatnya suatu dewan yang mengkontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata uang lain, dan juga diperbolehkannya beberapa entitas untuk mencetak uang kertas ataupun uang logam.
Agus Santoso dan Anton Purba mengatakan dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Bank Indonesia dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” bahwa kewenangan otoritas moneter yang dimiliki Bank Indonesia merupakan hasil dari sharing of executive power kekuasaan Pemerintah di bidang ekonomi. Sharing of executive power ini dimaksudkan untuk menghindarkan Bank Indonesia dari posisi yang dapat menimbulkan conflict of interest, yaitu antara “agen program Pemerintah” dan “pengelola kebijakan moneter”. Kedua fungsi tersebut memang tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga, karena kedua fungsi tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Disatu sisi, Pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiskal dan dilain pihak Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui kebijakan moneternya. Dengan demikian, pembagian kekuasaan (sharing of executive power) ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung terciptanya demokratisasi dalam pengelolaan (ekonomi) Negara.
Dalam konsep sharing of executive power ini, maka Pemerintah memegang otoritas fiskal (dan sektor riil), sedangkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang memliki fungsi khusus, yaitu sebagai otoritas di bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran, dengan tujuan menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat yang tercermin dari terjaganya kestabilan rupiah. fungsi ini diyakini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tercampur dengan ragam fungsi departemental pemerintahan yang sarat dengan tarik menarik kepentingan politik dan seringkali berubah karena mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.
Dengan demikian, maka dengan adanya sharing of executive power ini, kekuasaan Pemerintah dalam kebijakan ekonomi tidak terkonsentrasi. Hal ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa kekuasaan Presiden selaku Kepala Pemerintahan “tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang”.
Namun, sebagai organ of state Bank Indonesia dalam beberapa hal harus tetap berkoordinasi dengan Pemerintah. Dengan kata lain, hubungan ini dapat digambarkan sebagai fungsi pengelolaan moneter yang tidak berada di bawah pengelolaan kebijakan fiskal, tetapi yang terpisah, namun tetap bekerjasama dengan pengelola fiskal untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin dalam pembangunan ekonomi nasional.
Peran bank sentral dalam perekonomian suatu negara sangat penting. Bank sentral adalah mitra utama pemerintah dalam menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi melalui kebijakan suku bunga dengan statusnya sebagai otoritas moneter. Sebagai otoritas moneter, bank sentral memiliki tujuan, tugas, maupun wewenang yang tidak dimiliki lembaga ekonomi lainnya.
Sebelum membahas mengenai beberapa hal terkait otoritas moneter yang dimiliki oleh Bank Indonesia, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan moneter dan otoritas moneter itu sendiri. Dalam ”kamus hukum ekonomi” yang disusun oleh A. F. Elly Erawaty dan J. S. Badudu dikatakan bahwa kebijakan moneter (monetary policy) adalah tindakan bank sentral selaku pemegang otoritas moneter dalam menjaga keseimbangan moneter negara.
Sedangkan otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan persediaan uang. Umumnya otoritas moneter adalah bank sentral, meskipun kadang kala lembaga eksekutif pemerintah mempunyai hak tertinggi untuk menetapkan kebijakan moneter dengan cara mengendalikan bank sentral. Ada berbagai jenis otoritas moneter lainnya, seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa negara, terdapatnya suatu dewan yang mengkontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata uang lain, dan juga diperbolehkannya beberapa entitas untuk mencetak uang kertas ataupun uang logam.
Agus Santoso dan Anton Purba mengatakan dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Bank Indonesia dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” bahwa kewenangan otoritas moneter yang dimiliki Bank Indonesia merupakan hasil dari sharing of executive power kekuasaan Pemerintah di bidang ekonomi. Sharing of executive power ini dimaksudkan untuk menghindarkan Bank Indonesia dari posisi yang dapat menimbulkan conflict of interest, yaitu antara “agen program Pemerintah” dan “pengelola kebijakan moneter”. Kedua fungsi tersebut memang tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga, karena kedua fungsi tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Disatu sisi, Pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiskal dan dilain pihak Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui kebijakan moneternya. Dengan demikian, pembagian kekuasaan (sharing of executive power) ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung terciptanya demokratisasi dalam pengelolaan (ekonomi) Negara.
Dalam konsep sharing of executive power ini, maka Pemerintah memegang otoritas fiskal (dan sektor riil), sedangkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang memliki fungsi khusus, yaitu sebagai otoritas di bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran, dengan tujuan menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat yang tercermin dari terjaganya kestabilan rupiah. fungsi ini diyakini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tercampur dengan ragam fungsi departemental pemerintahan yang sarat dengan tarik menarik kepentingan politik dan seringkali berubah karena mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.
Dengan demikian, maka dengan adanya sharing of executive power ini, kekuasaan Pemerintah dalam kebijakan ekonomi tidak terkonsentrasi. Hal ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa kekuasaan Presiden selaku Kepala Pemerintahan “tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang”.
Namun, sebagai organ of state Bank Indonesia dalam beberapa hal harus tetap berkoordinasi dengan Pemerintah. Dengan kata lain, hubungan ini dapat digambarkan sebagai fungsi pengelolaan moneter yang tidak berada di bawah pengelolaan kebijakan fiskal, tetapi yang terpisah, namun tetap bekerjasama dengan pengelola fiskal untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin dalam pembangunan ekonomi nasional.
SOLUSI
Pemerintah didorong
menciptakan kerangka perundang-undangan terkait yang memungkinkan para pemain
di industri keuangan mikro dapat menawarkan produk yang aman, mudah diakses,
dan dapat membantu masyarakat membangun asetnya.
Founder Grameen Bank
Prof. Muhammad Yunus mengatakan Indonesia sebagai negara berkembang dapat
mengembangkan sistem keuangan untuk semua (financial
inclusion) melalui lembaga-lembaga penyalur pembiayaan seperti perbankan.
Akan tetapi, lanjutnya, perlu peranan pemerintah untuk menciptakan kerangka perundang-undangan yang dapat menjamin keberlanjutan financial inclusion.
"Supaya orang tidak hanya bergantung pada sistem perbankan konvensional," katanya.
Dia menyebutkan salah satu poin penting dalam pengembangan financial inclusion adalah menekankan konsep bahwa bisnis yang dilakukan bukan untuk semata menghasilkan uang melainkan untuk membantu hal-hal bersifat sosial.
"Inilah konsep yang kami tanamkan di Grameen Bank. Ide kami tentang pembiayaan mikro bukan hanya soal uang. Tujuan utama kami melalui pembiayaan mikro adalah membantu orang-orang miskin agar dapat menaikkan taraf hidupnya dengan bantuan berupa pinjaman, bukan gratis," katanya.
Salah satu ciri khas Grameen Bank sebagai penyalur pembiayaan untuk segmen mikro di Bangladesh yaitu sebagian besar sahamnya yaitu 97% dimiliki oleh peminjam dan bukan pemerintah.
Larry Reed, Direktur Global Micro Credit Summit Campaign, menekankan pentingnya memastikan para penyalur pembiayaan mikro memberikan produk yang aman, mudah diakses, dan membantu nasabah membangun asetnya. "Dan itu memerlukan kerangka peraturan," katanya.
Menurut dia, salah satu syarat utama dalam penerapan financial inclusion adalah menghindari instrumen finansial yang dapat memerangkap orang dalam utang.
Oleh karena itu, lanjutnya, lembaga penyalur kredit untuk segmen mikro harus mengenali nasabahnya sehingga dapat menyediakan jenis jasa yang dapat membuat kehidupan nasabah lebih baik.
"Bank atau lembaga penyalur pembiayaan harus memahami apa yang berlangsung di kehidupan nasabahnya agar dapat menciptakan produk yang cocok untuk nasabah itu," ujarnya.
Secara lebih lanjut, Larry menyorot penggunaan teknologi dan agen perbankan guna menekan biaya-biaya operasional.
"Tantangan bagi pemerintah, skema financial inclusion harus dapat inkorporasikan penggunaan teknologi untuk mengurangi biaya jasa dan layanan apalagi untuk sektor keuangan yang marginnya tidak setinggi kredit. (Bsi)
inclusion) melalui lembaga-lembaga penyalur pembiayaan seperti perbankan.
Akan tetapi, lanjutnya, perlu peranan pemerintah untuk menciptakan kerangka perundang-undangan yang dapat menjamin keberlanjutan financial inclusion.
"Supaya orang tidak hanya bergantung pada sistem perbankan konvensional," katanya.
Dia menyebutkan salah satu poin penting dalam pengembangan financial inclusion adalah menekankan konsep bahwa bisnis yang dilakukan bukan untuk semata menghasilkan uang melainkan untuk membantu hal-hal bersifat sosial.
"Inilah konsep yang kami tanamkan di Grameen Bank. Ide kami tentang pembiayaan mikro bukan hanya soal uang. Tujuan utama kami melalui pembiayaan mikro adalah membantu orang-orang miskin agar dapat menaikkan taraf hidupnya dengan bantuan berupa pinjaman, bukan gratis," katanya.
Salah satu ciri khas Grameen Bank sebagai penyalur pembiayaan untuk segmen mikro di Bangladesh yaitu sebagian besar sahamnya yaitu 97% dimiliki oleh peminjam dan bukan pemerintah.
Larry Reed, Direktur Global Micro Credit Summit Campaign, menekankan pentingnya memastikan para penyalur pembiayaan mikro memberikan produk yang aman, mudah diakses, dan membantu nasabah membangun asetnya. "Dan itu memerlukan kerangka peraturan," katanya.
Menurut dia, salah satu syarat utama dalam penerapan financial inclusion adalah menghindari instrumen finansial yang dapat memerangkap orang dalam utang.
Oleh karena itu, lanjutnya, lembaga penyalur kredit untuk segmen mikro harus mengenali nasabahnya sehingga dapat menyediakan jenis jasa yang dapat membuat kehidupan nasabah lebih baik.
"Bank atau lembaga penyalur pembiayaan harus memahami apa yang berlangsung di kehidupan nasabahnya agar dapat menciptakan produk yang cocok untuk nasabah itu," ujarnya.
Secara lebih lanjut, Larry menyorot penggunaan teknologi dan agen perbankan guna menekan biaya-biaya operasional.
"Tantangan bagi pemerintah, skema financial inclusion harus dapat inkorporasikan penggunaan teknologi untuk mengurangi biaya jasa dan layanan apalagi untuk sektor keuangan yang marginnya tidak setinggi kredit. (Bsi)
Foto-foto data dari makalah diatas
0 komentar:
Posting Komentar